Sunday, 16 September 2012

Mitos #30 - Lebih Baik Mengekspresikan Rasa Marah pada Orang Lain daripada Memendamnya

Terkadang tak mudah bagi seseorang untuk menahan emosi. Akibatnya, marah-marah menjadi sebuah fenomena yang dianggap biasa untuk melampiaskan endapan emosi. Padahal sering marah bikin rentan sakit.
Patrick Henry Sherrill mendapatkan pengakuan yang meragukan
sebagai orang yang mengilhami istilah "going postal" karena melakukan salah satu pembunuhan massal paling mengerikan dalam sejarah Amerika. Pada 20 Agustus 1986, Sherril yang marah sekali karena kemungkinan dia akan dipecat dari pekerjaannya sebagai pegawai pos, menembakkan dua senjata yang dia sembunyikan dalam tas suratnya. Dia berhasil membunuh 14 pegawai dan melukai 6 orang lain sebelum mengakhiri hidupnya sendiri di kantor pos Edmond, Oklahoma. Kini banyak orang menggunakan istilah "going postal" untuk menggambarkan orang yang marah, beringas, dan tak terkendali.
Bisakah Sherril mencegah ledakan amarah yang mematikan tersebut seandainya mereka menyalurkan amarah terpendam mereka dirumah, misalnya dengan memukuli bantal atau menggunakan tongkat plastik untuk meluapkan kemarahan mereka? Jika anda seperti sebagian besar orang, anda pasti percaya bahwa menyalurkan kemarahan lebih sehat dibandingkan memendamnya. Dalam suatu survey, 66% mahasiswa S1 setuju bahwa mengekspresikan amarah terpendam merupakan cara yang efektif untuk mengurangi resiko seseorang melakukan tindakan berbahaya (Brown, 1983). Kepercayaan ini dimulai lebih dari 2000 tahun silam ketika ahli filsafat Yunani, Aristoteles dalam buku klasiknya Poetics, mengatakan bahwa menonton sandiwara tragis memunculkan peluang katarsis (berasal dari bahasa Yunani "katharsis") - peluapan kemarahan dan emosi negatif lain yang memberikan pengalaman pembersihan psikologis yang memuaskan.
Sigmund Freud (1960/1961), pendukung katarsis yang berpengaruh, percaya bahwa kemarahan yang dipendam dapat menumpuk dan memburuk, seperti uap dalam panci bertekanan tinggi, sehingga suatu ketika dapat menyebabkan gangguan psikologis seperti histeria dan keagresifan yang siap meledak. Menurut Freud dan para pendukungnya, kunci terapi dan kesehatan jiwa yang baik adalah mengurangi tekanan perasaan negatif dengan membicarakan dan menyalurkannya secara terkendali dalam setiap aspek pengobatan. Tokoh buku komik dan film Marvel, "The Hulk" , adalah metafora bagi akibat kegagalan mengendalikan emosi yang selalu tersembunyi di batas kesadaran. Ketika Bruce Banner yang sopan membiarkan terlalu banyak kemarahan menumpuk atau diprovokasi, dia berubah menjadi kepribadian yang beringas, yaitu Hulk.
John Lee (1993) menyarankan lebih baik "memukuli bantal atau karung pasir daripada memendam amarah yang berbahaya". Dan ketika anda melakukannya, berteriak dan menjeritlah. Jika anda marah pada seseorang, bayangkan wajahnya diatas bantal atau karung pasir, dan lampiaskan kemarahan anda secara fisik maupun verbal (h.96). George Bach dan Herb Goldberg (1974) merekomendasikan latihan yang diberi nama "Vesuvius" (sesuai nama gunung berapi di Italia yang menyebabkan hancurnya Pompeii pada 74 M), yakni "... seseorang dapat menyalurkan frustrasi, kebencian, rasa sakit, permusuhan, dan kemarahan terpendam mereka dengan berteriak sangat keras". (h.180)
Berbagai teknik untuk mengatasi amarah bahkan ditemukan dalam sebagian psikoterapi. Sebagian terapi mendorong klien untuk melampiaskan kemarahan dengan menjerit, memukul bantal, melempar bola ke dinding (Lewis dan Bucher, 1992)
Dengan menyampingkan semua kegiatan tersebut, penelitian menunjukkan bahwa hipotesis katarsis salah. selama lebih dari 40 tahun, beberapa studi telah mengungkapkan bahwa mendorong seseorang untuk mengekspresikan kemarahan langsung kepada orang lain maupun secara tidak langsung (seperti kepada benda tertentu) justru meningkatkan keagresifan (Bushman, Baumeister, dan Stack, 1999; Lewis dan Bucher 1992; Littrel, 1998; Travis, 1988). Dalam studi awal, orang yang mengetokkan palu setelah orang lain menghina mereka justru akan lebih kritis terhadap orang tersebut (Hornberger, 1959). Selain itu memainkan olahraga agresif seperti sepak bola, yang dianggap dapat mendorong katarsis, mengakibatkan meningkatnya keagresifan (Patterson, 1974).
Jadi menyalurkan kemarahan tidak akan meredakan kemarahan kita, tetapi justru membuatnya semakin besar. Penelitian menunjukkan bahwa mengekspresikan kemarahan hanya bermanfaat jika disertai penyelesaian masalah yang bersifat membangun, yang dirancang untuk menyelesaikan sumber kemarahan (Littrel, 1998). Misalnya ketika kita marah pada pasangan karena selalu datang terlambat dan mengacuhkan kita, membentak mereka kemungkinan tidak akan membuat kita merasa lebih baik, apalagi memperbaiki situasi. Namun, mengekspresikan kemarahan dengan tenang dan tegas ("Aku tahu kau mungkin tidak sengaja, tapi kalau kau terus melakukannya, kau menyakiti hatiku.") sering lebih bisa menyelesaikan konflik.
Mengapa mitos tentang katarsis masih populer meskipun ada bukti meyakinkan bahwa kemarahan mendorong keagresifan? kepercayaan bahwa katarsis berhasil menjadi populer karena orang-orang merasa lebih naik untuk sesaat setelah melampiaskan kemarahan (Bushman, 2002; Bushman et al., 1999). Selain itu, orang-orang sering salah menghubungkan fakta bahwa mereka merasa lebih baik setelah mengekspresikan kemarahan dengan katarsis, bukannya dengan fakta bahwa kemarahan biasanya hilang dengan sendirinya setelah beberapa saat. Seperti yang diamati Jeffrey Lohr dan para rekannya (Lohr, Olatunji, Baumeister, dan Bushman, 2007), ini adalah contoh pemikiran post hoc, ergo propter hoc (setelah ini sehingga karena ini), yaitu salah mengasumsikan satu hal merupakan penyebab hal lain karena terjadi lebih dulu.


0 komentar: